Ketua Harian DPP Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya, Anan Wijaya. Foto M Julnis Firmansyah
Jakarta, tvrijakartanews - Ketua Harian DPP Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya, Anan Wijaya meminta pembuat undang-undang, DPR dan pemerintah untuk mengatur secara ketat persyaratan partai politik peserta pemilu. GRIB Jaya merupakan organisasi sayap dari Partai Gerindra.
Menurut Anan, hal tersebut merupakan bentuk rekayasa konstitusional untuk merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah menghapus ambang pencalonan presiden atau presidential threshold 20 kursi di DPR.
"Penghapusan presidential threshold juga harus dibarengi dengan rekayasa konstitusional atau konstitusional engineering, bagaimana caranya eksekutif dan legislatif memperketat syarat pembentukan partai politik," ujar Anan Wijaya di acara diskusi bertajuk 'Kondisi Politik Indonesia Pasca Putusan MK Soal Penghapusan Presidential Threshold' di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, Jumat (17/1/2025).
Salah satu syarat yang perlu diperketat, kata Anan, adalah kepengurusan partai politik peserta pemilu harus 100 persen di provinsi Indonesia dan kabupaten/kota. Hal ini berarti kepengurusan parpol tersebut harus berada di 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota.
"Jadi syarat pendirian partai politik harus terbentuk di 38 provinsi dan harus memiliki kesekretariatan dan pengurus di seluruh kabupaten, kota yang ada di Indonesia. Ini untuk mereduksi, untuk meminimalisir potensi ormas-ormas atau LSM atau organisasi kemasyarakatan lainnya tidak begitu gampang untuk mendirikan partai politik," imbuh Anan.
Karena itu, kata Anan, DPR dan pemerintah perlu merevisi Undang-undang Partai Politik dan UU Pemilu yang masih mengatur partai politik peserta pemilu memiliki kepengurusan di 75 persen jumlah kabupaten/kota di satu provinsi dan kepengurusan di 50 persen jumlah kecamatan di satu kabupaten atau kota.
"Kita dari GRIB Jaya dorong agar syarat kepengurusan partai politik peserta pemilu 100 persen di level provinsi dan kabupaten/kota dan ini bisa dibahas di dalam Omnibus Law UU Politik oleh pemerintah dan DPR," imbuh Anan.
Anan menegaskan pengetatan persyaratan partai politik peserta pemilu penting agar tidak mengulang Pemilu 1999 yang diikuti 48 partai politik. Pasalnya, kata dia, makin banyak partai politik peserta pemilu, maka jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden juga makin banyak sehingga bisa membebani anggaran negara serta memperburuk demokrasi itu sendiri.
"Dengan banyaknya partai hampir 100 lebih (di Pemilu 2029), kita sibuk terus melakukan konsolidasi demokrasi, konsolidasi demokrasi terus yang kita lakukan untuk mencari jati diri demokratisasi politik di Indonesia dan kita lupa untuk pertumbuhan ekonomi. Jadi konsentrasi kita terus ke segmentasi politik," ungkap dia.
Lebih lanjut, Anan menilai putusan MK soal penghapusan presidential threshold sebenarnya menjadi angin segera bagi penguatan demokrasi di Indonesia. Pasalnya, penghapusan presidential threshold memberikan ruang kepada putra-putri terbaik Indonesia untuk maju menjadi capres dan cawapres tanpa terganjal oleh ketentuan ambang batas 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah.
Selain itu, kata dia, penghapusan presidential threshold membuka ruang munculnya banyak partai politik dan pasangan capres serta cawapres di pemilu. Hanya saja, kata dia, tetap perlu dibarengi dengan rekayasa konstitusional sehingga jumlah parpol dan pasangan capres dan cawapres tidak menggangu konsolidasi demokrasi ke depannya.
"Jadi GRIB Jaya, saya selaku ketua harian DPP GRIB Jaya menyarankan kepada pembuat regulasi untuk membuat rekayasa konstitusi, memperketat pembentukan partai politik," pungkas Anan.